Minggu, 14 Oktober 2012
Mengamandemen Kejiwaan Negara
Wacana amandemen kelima UUD 1945 terus menguat, terutama setelah sejumlah ketua fraksi di DPR dan pimpinan DPD menandatangani kesepakatan.
Meski demikian, tuntutan untuk kembali pada UUD yang asli pun terus bergulir. Tanpa bermaksud untuk tidak menghormati, apalagi menyalahkan para pendiri bangsa (founding father) yang telah menyusunnya, amandemen terhadap UUD 1945 tentu bukan sebuah kedurhakaan.
Sebaliknya, amandemen UUD yang dimaksudkan untuk meniadakan berbagai kekurangan adalah amanah.
Mengandung keterbatasan
UUD yang ada memang mengandung sejumlah keterbatasan. Katakan saja, soal kedaulatan rakyat dan sistem parlemen yang selama ini tidak jelas. UUD 1945 yang asli, pemilu sebagai mekanisme untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dengan memilih partai yang dipercaya untuk melaksanakan kontrak sosial.
Segala janji berupa program partai yang disampaikan saat kampanye menjadi kehilangan makna karena fungsi dan misinya tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Bahkan, keberadaan anggota DPR bukan wakil rakyat, tetapi wakil partai sehingga PAW (pergantian antar-waktu) pun masih berlaku.
Selain itu, salah satu masalah mendasar yang terkait dengan UUD 1945 adalah karena terlalu singkat. Maka, dampak yang tak bisa dicegah, ia tidak mungkin mampu meng-cover seluruh tantangan dan permasalahan yang muncul belakangan. Dalam praktik pun sering terjadi interpretasi oleh pihak yang berkuasa sesuai dengan dan dalam rangka kepentingannya semata.
Keadaan menjadi semakin ruwet lagi setelah 1998. Reformasi ternyata berjalan tanpa perubahan fundamental pada sistem kenegaraan sehingga yang terjadi pada hakikatnya adalah perebutan kekuasaan semata.
Karena itu, ke depan yang diperlukan dalam amandemen adalah perubahan yang dimulai dari kejiwaan, visi, dan paradigma lebih dulu sebelum mengubah format dan struktur politik itu sendiri. Maka, pengaturan secara tegas hal-hal yang bersifat fundamental, seperti pemisahan antara fungsi negara dan pemerintah, bisa jelas dirumuskan.
Kita perlu belajar dari Malaysia dan Thailand serta banyak negara sahabat penganut sistem parlementer yang ternyata instabilitas dan atau kegagalan pemerintahan tidak memengaruhi stabilitas dan eksistensi negara.
Begitu pula dalam sistem presidensial, seperti yang saat ini sedang terjadi di Amerika Serikat. Presiden yang mendapat perlawanan kuat dari DPR, bahkan termasuk dari partainya sendiri, ternyata sama sekali tidak berimbas terhadap stabilitas dan eksistensi negara.
Sementara itu, bagi sejumlah negara penganut paham otoriter, kegagalan pemerintah ternyata tidak hanya berpengaruh terhadap stabilitas negara, tetapi juga berdampak langsung terhadap eksistensi negara, seperti terjadi di Uni Soviet dan sejumlah negara di Eropa Timur.
"Check and balances"
Sistem kenegaraan juga harus menjamin lahirnya check and balances antara pemerintah dan DPR dalam arti sebenarnya.
Negara juga harus menjamin kesetaraan dan bebas tirani bagi setiap warga negara, kelompok, golongan, dan daerah. Tegaknya supremasi hukum serta perlindungan terhadap hak-hak warga negara juga harus dijamin secara kesisteman.
Selain itu, posisi TNI dan model dalam mengelola keamanan yang menempatkan rakyat sebagai musuh negara tidak boleh terulang lagi, serta persoalan pemisahan antara jabatan politik dan jabatan karier sebagai conditio sine qua non dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, dan banyak lagi masalah lain yang selama ini perlu disempurnakan.
Sebagai gambaran pentingnya perubahan fundamental, kita bisa mengambil hikmah dari pengalaman pemerintahan SBY-JK. Belum berubahnya paradigma dalam menghadirkan stabilitas politik membuat persepsi dan cara-cara lama terus dilanjutkan, di mana pemerintah perlu mendapat dukungan amat kuat dari DPR. Seolah-olah tanpa dukungan DPR, pemerintah tidak bisa bekerja. Itu juga yang membuat pemerintahan SBY-JK sering mengalami kesulitan.
Kondisi itu, sama sekali bukan karena kesalahan individual yang kebetulan duduk sebagai presiden, tetapi karena sistem kenegaraannya demikian adanya. Padahal, dalam sistem pemilu langsung, sumber legitimasi pemerintah bukan dari partai/DPR, tetapi langsung dari pemilik kedaulatan yaitu rakyat. Maka, seharusnya munculnya calon independen amat dimungkinkan.
Demokrasi
Ditilik dari struktur politik, UUD 1945 hasil amandemen telah mencakup semua unsur yang diperlukan dalam struktur demokrasi. Namun, betulkah ia telah konsisten menerapkan prinsip- prinsip dasar demokrasi?
Mari kita lihat, pengaturan pasangan presiden dan wakil presiden seperti yang kini terjadi.
Dalam sejarah demokrasi, mungkin Indonesia adalah negara pertama yang menerapkan paket presiden-wakil presiden dari kubu politik berbeda. Itu sebabnya disharmoni rentan terjadi. Kalaupun pasangan SBY-JK mampu mengeliminasi risiko yang mungkin terjadi, tetapi ke depan sistem kenegaraan hendaknya tidak memberi peluang hal itu terulang lagi.
Secara rasional, hal demikian itu mengandung potensi disharmoni antara presiden dan wakil presiden. Khusus keberadaan DPD, sepertinya misi yang ingin dicapai dari gagasan itu belum jelas. Kalau memang dimaksudkan untuk menerapkan model Bikameralisme, DPD harus diberi sejumlah kewenangan sebagaimana layaknya lembaga senat di banyak negara.
Memang, tidak ada satu negara pun yang mengadopsi model demokrasi secara utuh dari mana pun. Yang terpenting adalah adanya jaminan bahwa kedaulatan rakyat benar-benar di tangan rakyat dan tidak terjadi distorsi dalam implementasinya, serta konsistensi dalam menerapkan norma dasar demokrasi yang telah teruji keberhasilannya di banyak negara dan berlaku secara umum di mana pun.
Perangkat dan mekanisme sistem yang dipilih juga harus utuh, bukan mencampuradukkan parlementer dan presidensial.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar