MAKALAH
“MENGENAL WAYANG
KULIT”
DISUSUN OLEH:
NAMA :AMIN BUDI SETYANTO
NO : O2
KELAS : XII KJ 2
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 1 NANGGULAN
DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN KULONPROGO
2012
Kata Pengantar
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Alloh
SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah
yang berjudul “WAYANG KULIT”.
Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas XII semester gasal.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih
banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam
menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada :
- Bapak Drs. H. Rumawal, MM Selaku Kepala Sekolah SMK N 1 Nanggulan
- Ibu Suminah, S.Pd selaku guru / pengajar
- Rekan-rekan semua di Kelas XII KJ 2 SMK N 1 Nanggulan
- Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga Allah
memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan
dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
PENULIS
A.
SEJARAH WAYANG KULIT
Wayang salah satu
puncak seni budaya bangsa indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya
budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni
tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya
wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media
penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya
wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan
wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun
cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari
karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam
pewayangan
banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan
falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep
filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap
kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi
merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan
lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh
panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia
(tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini
tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap
makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het
Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau
menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa.
Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit
yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang
dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.
B.
ASAL USUL WAYANG KULIT
Mengenai asal-usul
wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal
dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini
selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa
Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara
para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats,
Rentse,danKruyt.Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih
amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia,
khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni
Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak
di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya
berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negaralain.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawayang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.
Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesiahalaman987.
Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah ceritacerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para rajaMajapahit,diantaranya ceritaDamarwulan.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negaralain.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawayang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.
Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesiahalaman987.
Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah ceritacerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para rajaMajapahit,diantaranya ceritaDamarwulan.
Masuknya agama Islam
ke Indonesia sejak abad ke-15 juga
memberi pengaruh besar pada budaya
wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad
ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk
khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang.
C.
BEBERAPA
TOKOH WAYANG KULIT
1.
PUNAKAWAN
Sebenarnya panakawan ‘kiri’ ini
tidak terimbas berbuat ‘kiri’ / tidak baik. Ndilalah saja dalam cerita
wayang dia selalu diposisikan – kalau boleh malah dikatakan : ditugaskan oleh
kaum Jawa – mengiringi raja atau ksatria ‘berkelakuan buruk’ atau yang ada di
simpingan kiri, untuk mengusahakan perubahan kelakuan bendara nya.
Ada dua tokoh yaitu Togog dan
Bilung (sering disebut juga Sarawita).Meskipun keberadaannya di atmosfer ‘kiri’
, mereka tetap mempunyai misi – dan tidak henti hentinya – menyuarakan
‘kehidupan baik’ dengan memberi nasehat kepada bendara nya yang
‘berkehidupan buruk’. Namun di dalam cerita nasehat mereka selalu tidak
digubris. Ya namanya cerita wayang – yang memang disajikan dengan muatan tuntunan
– seperti biasa menceritakan yang buruk dan yang baik. Yang buruk keras kepala
sampai kena batunya.
2.
SEMAR
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet
Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan
Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga
dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.
Semar dikisahkan sebagai abdi atau
hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu
saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai
pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika
kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan
sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar
Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa.
Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga.
Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya,
bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar
semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka
mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara
Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.
3.
GARENG
Nala
gareng pernah menjadi raja dengan gelar Prabu Pandupragola atau Prabu
Pandupracola. Kekuasaan Gareng berada di negara Rancanggeribig atau
Paranggumiwang. Dikisahkan bahwa Prabu Pandupragola akan menahlukkan semua
raja-raja, termasuk Pandawa ditahlukannya. Penasihat Amarta, Prabu Kresna
menasihati agar Petruk menghadapi Prabu Pandupragola. Petruk awalnya tidak mau,
karena Pandawa pun kalah, apalagi Petruk. Akhirnya dinasihati oleh Semar untuk
tetap menghadapi Prabu Pandupragola.Akhirnya terjadilah perang antara Pandupragola
dan Petruk. Hingga akhirnya, Pandupragola kembali kepada wujud aslinya Gareng.
Ketika ditanya oleh Kresna, apa yang
menyebabkan Gareng berlaku demikian adalah sebagai pengingat kepada Pandawa
selalu waspada dan tidak melupakan para kawulanya.
4.
PETRUK
Menurut pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang pilih tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, saling menghantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong yang mengiringi Batara Ismaya. Mereka diberi petuah dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama.
Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama. Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.
5.
BAGONG
Dalam
pewayangan,Bagong bersikap kekanak-kanakan, lucu, suara besar dan serak (agor),
tindakannya seperti orang bodoh, kata-katanya menjengkelkan, tetapi selalu
tepat. Tidak jarang Bagong digunakan sebagai media mengkritik pemerintah dalam
pementasan wayang.
Dalam kisah Bagong jadi Ratu, dikisahkan
bahwa Bagong sedang bersedih, kemudian Bagong melakukan perjalanan hingga
sampai negara Pancalaradya. Saat itu, Drupadi, istri Puntadewa sedang berada di
Pancala kebetulah melihat Bagong. Untuk menghibur Bagong, Drupadi meminjamkan
Jimat Jamus Kalimasada serta Kalung Robyong Maniking Warih. Lantas ceria hati
Bagong, namun demikian masih kurang puas hingga meminta Prabu Drupada untuk
meminjamkan kerajaan Pancalaradya. Berbekal Jamus Kalimasada mengancam akan
membunuh Drupada kalau tidak dipinjamnkan. Drupada meminjamkan dan Bagong
bergelar Prabu Panjak Patokol.
D. MAKNA
NAMA DIBALIK KARAKTER
A. SEMAR
Membahas
Semar tentunya akan panjang lebar seperti tak ada titik akhirnya. Semar sebagai
simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya, Semar digunakan
untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa yang telah hidup lebih dari
2500 tahun. Dalam hal ini Ki Lurah Semar tiada lain adalah Ki Sabdapalon dan Ki
Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat
misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata, tapi jika melihat
tanda-tandanya orang yang menyangkal akan menjadi ragu. Ki Lurah Semar dalam
konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapa atau Dahyang-nya manusia
Jawa. Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan hadir kembali
setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran kepada
momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya kembali,
yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi para satria momongannya
Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat; mung siji tur dirumat. Selain menjadi
penasehat, punakawan akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala
para satria momongannya dalam
keadaan
bahaya.
Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan. Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar menggambarkan figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran dan menghindari perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijuluki Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan (lihat thread: Pusaka Hasta Brata). Dan seorang figur yang memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di dalam hidup). Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam sikap watak wantun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya atau wajah rembulan.
Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan. Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar menggambarkan figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran dan menghindari perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijuluki Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan (lihat thread: Pusaka Hasta Brata). Dan seorang figur yang memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di dalam hidup). Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam sikap watak wantun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya atau wajah rembulan.
B.
GARENG
Nala
adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti
menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah perlambang
“laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad.
Dalam
serat Wedhatama disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu tekad bulat
yang selalu mengarahkan setiap perbuatannya bukan untuk pamrih apapun,
melainkan hanya untuk netepi kodrat Hyang Manon. Nala Gareng menjadi simbol
duka-cita, kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam wujud fisik Nala
Gareng merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:
ü MataJuling:
Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.
Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam melangkah atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.
Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam melangkah atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
ü
MulutGareng
:
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara, kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena tidak merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman, baik di pihak kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi sangat bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala Gareng sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk negosiasi. Justru dengan banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala Gareng sering terhindar dari celaka dan marabahaya.
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara, kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena tidak merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman, baik di pihak kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi sangat bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala Gareng sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk negosiasi. Justru dengan banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala Gareng sering terhindar dari celaka dan marabahaya.
3.
PETRUK
Petruk
memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala atau
jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga, mulut, kaki,
dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai, karena Lurah Petruk adalah
jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa
diduga-kira. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang
panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam
bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau resiko akan suatu
rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong Bolong,
menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak
samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang
disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel.
Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan penuh ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk benar-benar membangkitkan semangat dan kebahagiaan tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama semua anggota Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatria Pandhawa Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan penuh ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk benar-benar membangkitkan semangat dan kebahagiaan tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama semua anggota Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatria Pandhawa Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
4. BAGONG
Bagong
adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah bayangan
Semar. Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon, untuk mengasuh
para kesatria yang baik, Semar memohon didampingi seorang teman. Permohonan
Semar dikabulkan Hyang Maha Tunggal, dan ternyata seorang teman tersebut
diambil dari bayangan Semar sendiri. Setelah bayangan Semar menjadi manusia
berkulit hitam seperti rupa bayangan Semar, maka diberi nama Bagong.
Sebagaimana Semar, bayangan Semar tersebut sebagai manusia berwatak lugu dan
teramat sederhana, namun memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan
menanggung malu, dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran jika
menghadapi situasi yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah
Bagong seperti orang dungu. Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang tangguh,
selalu beruntung dan disayang tuan-tuannya.
Maka
Bagong termasuk punakawan yang dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di hati
para kesatria. Istilahnya bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan
kanan, yakni berada dalam jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan
Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar