Seluruh Hall kami telusuri dari satu stand ke stand yang lainnya
akhirnya keempat patung tsb berhasil kami temukan dan dibeli dengan
harga yang cukup fantastis…namun anehnya gadis cantik penjaga stand tsb
juga tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang barang yang
dijualnya….bahkan tidak dapat membedakan mana yang Om Petruk, Om Bagong
maupun Om Gareng, lalu teman saya mengeluarkan buku catatan kecil dari
dalam tas ranselnya ……..Waduh kalau begini caranya pantas saja budaya
kita mudah dicuri oleh bangsa lain..termasuk teman saya yg bule ini,
bisa2 suatu hari di klaim kalau Om Petruk berasal dari negaranya Austria
sana ….hehehe…
Sebagi referensi buat teman2 yang tertarik…Berikut hasil penelusuran saya tentang keempat tokoh tsb…..mari kita lestarikan…….
–PETRUK—
Ciri-ciri fisik:
Nama lain: Dawala, Kantong Bolong, Dublajaya, Pentungpinanggul
Posisi: Punakawan
Jenis kelamin: pria
Ciri-ciri: berhidung panjang, berkulit hitam
Keistimewaan: senang bergurau
Senjata: Kapak
Menurut pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan
bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama
Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan
maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang pilih
tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena
itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan
Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba
kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang
tanding. Mereka berkelahi sangat lama, berhantam, bergumul,
tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya
menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan.
Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong
yang mengiringi Batara Ismaya. Mereka diberi fatwa dan nasihat sehingga
akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Smara/Semar dan
mengabdi kepada Sanghyang Ismaya.
Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama.
Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi
menjadi Gareng.
—GARENG–
Gareng adalah punakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah
sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam
bertindak. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang
ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak
suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya
terkena semacam penyakit bubul.
Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang
dengan gelar Pandu Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan prabu
Welgeduwelbeh raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari
saudaranya sendiri yaitu Petruk.
Dulunya, Gareng berujud ksatria tampan bernama Bambang Sukodadi dari
pedepokan Bluktiba. Gareng sangat sakti namun sombong, sehingga selalu
menantang duel setiap satriya yang ditemuinya.
Suatu hari, saat baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan
satriya lain bernama Bambang Panyukilan. Karena suatu kesalahpahaman,
mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang
menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah
Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya
ini adalah pamong para ksatria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran,
maka dalam bentuk Jangganan Samara Anta, dia (Ismaya) memberi nasihat
kepada kedua ksatria yang baru saja berkelahi itu.
Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua ksatria itu minta
mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Dempel, titisan dewa
(Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima
mereka, asal kedua kesatria itu mau menemani dia menjadi pamong para
kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju.
Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertua (sulung) dari Semar.
—BAGONG—
Sebagai seorang panakawan yang sifatnya menghibur penonton wayang, tokoh
Bagong pun dilukiskan dengan ciri-ciri fisik yang mengundang kelucuan.
Tubuhnya bulat, matanya lebar, bibirnya tebal dan terkesan memble.
Gaya bicara Bagong terkesan semaunya sendiri. Dibandingkan dengan ketiga
panakawan lainnya, yaitu Semar, Gareng, dan Petruk, maka Bagong adalah
sosok yang paling lugu dan kurang mengerti tata krama. Meskipun demikian
majikannya tetap bisa memaklumi.
Beberapa versi menyebutkan bahwa, sesungguhnya Bagong bukan anak kandung
Semar. Dikisahkan Semar merupakan penjelmaan seorang dewa bernama Semar
Batara Ismaya yang diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu Togog
atau Togog Batara Antaga untuk mengasuh keturunan adik mereka, yaitu
Batara Guru.
Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka,
yaitu Sanghyang Tunggal, supaya masing-masing diberi teman. Sanghyang
Tunggal ganti mengajukan pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati
manusia. Togog menjawab “hasrat”, sedangkan Semar menjawab “bayangan”.
Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog
menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta
menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong.
Versi lain menyebutkan, Semar adalah cucu Batara Ismaya. Semar mengabdi
kepada seorang pertapa bernama Resi Manumanasa yang kelak menjadi
leluhur para Pandawa. Ketika Manumanasa hendak mencapai moksha, Semar
Gaya bicara Bagong yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para
dalang untuk mengritik penjajahan kolonial Hindia Belanda. Ketika Sultan
Agung meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat I
menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram. Raja baru ini
sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang
serta menjalin kerja sama dengan pihak VOC-Belanda.
Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang
mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang
menentangnya. Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan. Seni wayang
kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai Anjang Mas yang
anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang sebaliknya.
Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering
dipergunakan para dalang untuk mengritik penjajahan VOC. Atas dasar ini,
golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan
Nyai Panjang Mas tetap mempertahankannya.
Pada zaman selanjutnya, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan dan
berganti nama menjadi Kasunanan Kartasura. Sejak tahun 1745 Kartasura
kemudian dipindahkan ke Surakarta. Selanjutnya terjadi perpecahan yang
berakhir dengan diakuinya Sultan Hamengkubuwana I yang bertakhta di
Yogyakarta.
Dalam hal pewayangan, pihak Surakarta mempertahankan aliran Kyai Panjang
Mas yang hanya memiliki tiga orang panakawan (Semar, Gareng, dan
Petruk), sedangkan pihak Yogyakarta menggunakan aliran Nyai Panjang Mas
yang tetap mengakui keberadaan Bagong.
Akhirnya, pada zaman kemerdekaan Bagong bukan lagi milik Yogyakarta
saja. Para dalang aliran Surakarta pun kembali menampilkan empat orang
panakawan dalam setiap pementasan mereka. Bahkan, peran Bagong cenderung
lebih banyak daripada Gareng yang biasanya hanya muncul dalam gara-gara
saja.
–SEMAR—
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan
simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol
dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai
simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya
kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin
laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria
dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata,
sebagai simbol atasan dan bawahan.
Keistimewaan Semar
Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun
statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu
Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut
versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam
pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah
Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan
Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah
Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana,
para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri
Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap
pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.
Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria,
sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak
asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini
sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan
rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah -
yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara
rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya
pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar